Perempuan & Kesehatan Reproduksi
Bicara tentang perempuan dan kesehatan reproduksi tidak bisa hanya bicara tentang aspek klinis saja, tetapi lebih jauh dari itu, kesehatan reproduksi juga terletak pada aspek sosial yang berhubungan erat dengan sistem sosial, politik dan ekonomi. Bahkan ini juga tak lepas dari persoalan nilai, etika dan agama.
Dan kenyataan selama ini bicara tentang perempuan dan kesehatan reproduksi maka perempuan lebih banyak dirugikan karena sistem yang mengitari tadi. Perempuan lebih banyak menjadi objek dari pada subjek bahkan terhadapa tubuhnya sendiri.
Contohnya saja remaja perempuan pada umumnya memiliki pengetahuan terbatas tentang organ reproduksi dan sensualitas karena masyarakat menabukan orang tua bicara hal ini kepada anak-anaknya. Akibatnya banyak remaja yang menikah diluar nikah, kena penyakir menular seksual, menjadi perempuan panggilan secara diam-diam karena sudah dinodai oleh pacarnya atau karena tak tahan dengan kemiskinan.
Sedemikian kronisnya masalah ini sehingga ukuran pedalaman sekalipun angka remaja yang mengidap penyakit menular seksual sudah sangat tinggi.
Belum lagi bicara tentang perjodohan yang mengakibatkan perempuan harus menikah dan melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang tidak dicintainya. Kemudian ketika ia melahirkan dan menyusui, tidak ada jaminan bahwa perempuan pada masa itu mendapatkan gizi yang cukup. Persoalan juga muncul ketika perempuan harus memilih alat kontrasepsi karena ia enggan hamil kembali atau tidak hamil lagi. Jarang sekali perempuan lah yang menentukan alat kontrasepsi yang cocok dan seat baginya. Kebanyakan justru dokter, bidan dan suami yang memilihkan. Bahkan program pembatasan anak itu sendiri lebih ditujukan pada perempuan seakan akan pemerintah lupa bahwa warga negara yang bertanggung jawab terhadap proses reproduksi anak terdiri dari warga negara laki-laki dan perempuan.
Ketidakberdayaan perempuan terhadap tubuhnya sendiri terjadi ketika perempuan mengalami kekerasan dalam hidupnya. Tidak saja kekerasan yang berasal dari lingkungan luar. Tapi juga lingkungan rumah tangganya sendiri dimana semestinya perempuan mendapatkan lingkungan yang paling aman dan sehat. Ketidakberdayaan perempuan ini dinilai sebagai ketidakberdayaan karena perempuan tidak memiliki akses ekonomi. Akan tetapi dengan bekerja atau memiliki akses ekonomi bukan berarti penderitaan perempuan hilang sama sekali.
Dalam lingkungan kerja, perempuan juga mengalami diskriminasi upah dan kondisi kesehatan yang buruk akibat perusahan tidak mengindahkan kesehatan standar. Bukan hanya kesehatan fisik saja tetapi juga kesehatan mental.
Sedemikian kompleksnya masalah yang menyelimuti perempuan, termasuk persoalan reproduksi ini. Kenyataan bahwa kesehatan merupakan hak setiap manusia atau setiap warga negara kadang kala terlupakan ketika perempuan mengalami masalah dalam kesehatannya. Misalnya saja, sebab kematian ibu hamil dan melahirkan, atau pelayanan aborsi yang masih simpang siur tidak mengalami kejelasan hingga saat ini. Sementara jika ada anggoga keluarga lain mengalami masalah dalam kesehatannya maka perempuan sebagai ibu dianggap bertanggung jawab untuk merawat dan menyembuhkannya.
Keterkaitan perempuan dengan hal - hal diluar dirinya sendiri selalu dipaksakan oleh sistem sebagai bentuk pengabdian perempuan yang wajar. Perempuan juga tidak dikondisikan untuk mengenal dirinya sendiri sehingga banyak perempunan yang tidak menyadari hal - hal penting untuk dirinya seperti kesehatan dan pendidikan.
Selain itu minimnya pengetahuan atau informasi mengenai kesehatan reproduksi yang lengkap yang bisa mereka miliki juga turut mempengaruhi mengapa mereka menjadi tidak perhatian terhadap masalah kesehatan reproduksinya. Hal ini sangat disayangkan karena dalam beberapa kasus perempuan yang kena penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS tertular dari suaminya. Jadi ketidakmengertian perempuan terhadap kesehatan reproduksinya menambah resiko terjadinya penularan penyakit menular seksual kepadanya.
Dan kenyataan selama ini bicara tentang perempuan dan kesehatan reproduksi maka perempuan lebih banyak dirugikan karena sistem yang mengitari tadi. Perempuan lebih banyak menjadi objek dari pada subjek bahkan terhadapa tubuhnya sendiri.
Contohnya saja remaja perempuan pada umumnya memiliki pengetahuan terbatas tentang organ reproduksi dan sensualitas karena masyarakat menabukan orang tua bicara hal ini kepada anak-anaknya. Akibatnya banyak remaja yang menikah diluar nikah, kena penyakir menular seksual, menjadi perempuan panggilan secara diam-diam karena sudah dinodai oleh pacarnya atau karena tak tahan dengan kemiskinan.
Sedemikian kronisnya masalah ini sehingga ukuran pedalaman sekalipun angka remaja yang mengidap penyakit menular seksual sudah sangat tinggi.
Belum lagi bicara tentang perjodohan yang mengakibatkan perempuan harus menikah dan melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang tidak dicintainya. Kemudian ketika ia melahirkan dan menyusui, tidak ada jaminan bahwa perempuan pada masa itu mendapatkan gizi yang cukup. Persoalan juga muncul ketika perempuan harus memilih alat kontrasepsi karena ia enggan hamil kembali atau tidak hamil lagi. Jarang sekali perempuan lah yang menentukan alat kontrasepsi yang cocok dan seat baginya. Kebanyakan justru dokter, bidan dan suami yang memilihkan. Bahkan program pembatasan anak itu sendiri lebih ditujukan pada perempuan seakan akan pemerintah lupa bahwa warga negara yang bertanggung jawab terhadap proses reproduksi anak terdiri dari warga negara laki-laki dan perempuan.
Ketidakberdayaan perempuan terhadap tubuhnya sendiri terjadi ketika perempuan mengalami kekerasan dalam hidupnya. Tidak saja kekerasan yang berasal dari lingkungan luar. Tapi juga lingkungan rumah tangganya sendiri dimana semestinya perempuan mendapatkan lingkungan yang paling aman dan sehat. Ketidakberdayaan perempuan ini dinilai sebagai ketidakberdayaan karena perempuan tidak memiliki akses ekonomi. Akan tetapi dengan bekerja atau memiliki akses ekonomi bukan berarti penderitaan perempuan hilang sama sekali.
Dalam lingkungan kerja, perempuan juga mengalami diskriminasi upah dan kondisi kesehatan yang buruk akibat perusahan tidak mengindahkan kesehatan standar. Bukan hanya kesehatan fisik saja tetapi juga kesehatan mental.
Sedemikian kompleksnya masalah yang menyelimuti perempuan, termasuk persoalan reproduksi ini. Kenyataan bahwa kesehatan merupakan hak setiap manusia atau setiap warga negara kadang kala terlupakan ketika perempuan mengalami masalah dalam kesehatannya. Misalnya saja, sebab kematian ibu hamil dan melahirkan, atau pelayanan aborsi yang masih simpang siur tidak mengalami kejelasan hingga saat ini. Sementara jika ada anggoga keluarga lain mengalami masalah dalam kesehatannya maka perempuan sebagai ibu dianggap bertanggung jawab untuk merawat dan menyembuhkannya.
Keterkaitan perempuan dengan hal - hal diluar dirinya sendiri selalu dipaksakan oleh sistem sebagai bentuk pengabdian perempuan yang wajar. Perempuan juga tidak dikondisikan untuk mengenal dirinya sendiri sehingga banyak perempunan yang tidak menyadari hal - hal penting untuk dirinya seperti kesehatan dan pendidikan.
Selain itu minimnya pengetahuan atau informasi mengenai kesehatan reproduksi yang lengkap yang bisa mereka miliki juga turut mempengaruhi mengapa mereka menjadi tidak perhatian terhadap masalah kesehatan reproduksinya. Hal ini sangat disayangkan karena dalam beberapa kasus perempuan yang kena penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS tertular dari suaminya. Jadi ketidakmengertian perempuan terhadap kesehatan reproduksinya menambah resiko terjadinya penularan penyakit menular seksual kepadanya.
Komentar
Posting Komentar